Rabu, 07 Maret 2012

PARADIGMA NEO-EKONOMI


Paradigma ini menukik lebih tajam dibanding paradigma kebutuhan dasar dalam penafsiran tentang pembangunan. Jika paradigma indikator sosial dan paradigma kebutuhan dasar sekedar berupaya untuk melengkapi akuntansi ekonomi dengan akuntansi sosial atau pemenuhan kebutuhan dasar, paradigma neo-ekonomi memberikan perspektif baru tentang pembangunan ekonomi. Indikator-indikator pertumbuhan agregat seperti GNP atau pendapatan per kapita, menurut neo-ekonomi, tidak bisa mengungkapkan “siapa yang mendapat, berapa banyak, dan apa yang didapat” dari pembangunan?
Paradigma ini agaknya dipicu oleh pernyataan Dudley Seers, Direktur Lembaga Studi Pembangunan pada Sussex University, Inggeris, dalam sambutannya di hadapan Kongres Dunia kesebelas Masyarakat Pembangunan Internasional (SID) di New Delhi bulan November 1969 yang kemudian diterbitkan dengan judul “The Meaning of Development”. Tesis pokoknya adalah bahwa, dengan mengupayakan laju pertumbuhan GNP 5 persen sebagai target Pembangunan Sepuluh Tahun Pertama sebagaimana ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, para pakar dan perencana pembangunan telah salah dalam membaca tantangan paruh kedua abad kedua puluh. Asumsi bahwa kenaikan pendapatan nasional cepat atau lambat akan secara otomatis menghasilkan solusi bagi masalah-masalah sosial dan politik adalah suatu kesalahan.
Tidak hanya pertumbuhan ekonomi sendiri tidak mampu memecahkan masalah sosial dan politik, tipe-tipe pertumbuhan tertentu bahkan bisa menimbulkan masalah. Indikator ekonomi agregat seperti GNP, oleh karenanya, harus ditolak dan digantikan dengan indikator dis-agregat “Apa yang terjadi dengan kemiskinan? Apa yang terjadi dengan pengangguran? Apa yang terjadi dengan kesenjangan? Jika satu atau dua dari persoalan-persoalan pokok ini memburuk, terlebih jika ketiga-tiganya, adalah naïf untuk mengatakan keberhasilan “pembangunan”, meskipun pendapatan perkapita meningkat menjadi dua kali” (Dudley Seers, 1969, hal. 2-3).
Pendukung lain paradigma neo-ekonomi, Mahbub ul Haq (1971, hal. 5 – 7), memberikan pemikiran lebih jauh lagi, dengan menyatakan perlunya perubahan defenisi tentang tujuan pembangunan, tidak sebagai upaya mengejar tingkat pendapatan rata-rata tertentu, melainkan sebagai upaya untuk mengurangi dan pada akhirnya meniadakan kurang gizi, penyakit, buta huruf, kekumuhan, pengangguran, dan kesenjangan. Pelaksanaan pembangun-an yang berorientasi pertumbuhan hanya akan menghasilkan “kesalahan berulang”. Dibutuhkan pembangunan gaya baru, dengan menekankan muatan GNP yang lebih dari sekedar angka kenaikan, dan membalik logika pandangan konvensional tentang pembangunan. Ini tercermin dalam pertanyaan yang terkenal:
“Kita diajar untuk memperhatikan GNP kita karena GNP akan memperbaiki kemiskinan. Mari kita balik, dan beri perhatian pada kemiskinan karena pemulihan kemiskinan akan menghasilkan kenaikan GNP”
 Namun pandangan Dudley Seers dan Mahbub ul haq agaknya memiliki implikasi pada kebijakan Bank Dunia, sebagaimana dinyatakan oleh presidennya, Robert McNamara. Ia mendukung bahwa upaya pembangunan harus diarahkan pada 40 persen lapis bawah dengan tujuan untuk memberantas kemiskinan absolut pada akhir abad ini, dengan meningkatkan produktivitas golongan miskin, yang berarti mengupayakan pembagian yang lebih merata hasil-hasil pertumbuhan (McNamara, 1973 : 1974). Kemiskinan tidak bisa dientaskan melalui efek atas bawah (trickle – down effect) dan strategi karitas (pemberian konsumtif), tetapi harus diatasi melalui serangan langsung terhadap pokok masalah, distribusi langsung aset-aset dan alokasi langsung sumber-sumber daya. Pembangunan harus ditargetkan kepada 50 persen golongan termiskin dari total populasi. Gagasan ini menjadi tema dominan gagasan-gagasan pembangunan dekade 1970-an.


0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Updates Via E-Mail