Seorang teman pernah bercerita pada saya, sepulang dari Jepang, kerabat-kerabat Jepangnya membawakan sedikit kenang-kenangan yang –biarpun kecil- dibungkus lucu-lucu, disertai ucapan yang agak panjang. Kadang, ucapan itu juga menjelaskan kenapa ia memberikan hadiah tertentu untuk orang itu. Di mata saya, perayaan apapun bagi orang Jepang kelihatannya berkaitan dengan kesukaan mereka memberi hadiah yang mungil-mungil. Toko kertas (yang saya maksud di sini bukan sekedar toko kertas menjual HVS rim-riman seperti di Indonesia, tetapi juga meliputi kertas kado dengan warna dan pola unik) mungkin belum terlihat ramai, tapi jangan khawatir… tak lama lagi antriannya pasti akan panjang, dipenuhi orang-orang yang ingin mengemas hadiah Natal.
Hachiko, si Anjing Setia
Waktu kecil, saya pernah membaca sebuah cerita di majalah anak-anak, yang tadinya saya pikir hanya dongeng belaka. Seekor anjing setia setiap pagi mengantar tuannya ke stasiun kereta. Sorenya, anjing itu akan menjemput di stasiun yang sama. Hingga suatu hari, tuan pemilik anjing meninggal di tempat kerja. Tetapi si anjing tidak tahu, dan terus menjemput tuannya setiap sore hingga 10 tahun lamanya, setiap hari. Hachiko adalah nama anjing setia itu, yang tak bosan menjemput tuannya, Profesor Ueno, seorang Dosen di Universitas Tokyo yang meninggal pada 21 Mei 1925. Hachiko adalah anjing jantan ras Akita Inu kelahiran Odate, Prefektur Akita, Jepang. Hachiko tiba-tiba menjadi dikenal penduduk sekitar Stasiun Shibuya. Banyak orang konon ke situ hanya untuk melihat Hachiko datang menjempung Profesor yang tak kunjung datang sambil memandanginya dengan iba. Sejak tahun 1934 -satu tahun sebelum anjing ini mati-, di depan Stasiun Shibuya didirikan patung Hachiko.
Kini, tempat ini merupakan meeting point orang-orang Tokyo. Banyak anak muda yang terlihat berdiri, bersandar di dinding, atau duduk di sekitar patung Hachiko sambil menunggu kencannya. Bagi saya, cukup menarik hanya melihat orang jalan di meeting point Hachiko. Setiap beberapa menit, tepatnya ketika lampu tanda pejalankaki berubah hijau, perempatan Shibuya bergerak cepat oleh para penyeberang. Sekitar 100-200 orang bergegas, berpacu dengan lampu lalu lintas yang sebentar lagi berubah merah. Selain kereta, memang jalan kaki dan bersepeda adalah transportasi utama kebanyakan penduduk Tokyo. Hanya sedikit orang yang naik kendaraan bermotor, sedang taksi hanya digunakan oleh orang-orang yang benar-benar kaya mengingat argonya sangat mahal.
Kota Fashionista
Penduduk Tokyo pada umumnya adalah orang-orang yang melek fesyen. Sebuah mall bernama 109 di daerah Shibuya saya datangi, anak-anak muda dengan pakaian sangat modern terlihat di setiap sudut. Mereka mengingatkan saya pada boneka Jepang yang saya dapat sebagai oleh-oleh dari paman saya sekitar 20 tahun lalu. Hanya saja, dengan kostum yang sama sekali berbeda. Baju berlengan panjang, rok mini, coat, stoking warna-warni berpola variasi, serta sepasang sepatu boot berhak tinggi telah menggantikan kimono dan bakiak Jepang. Sedang yang laki-laki tak kalah dengan gaya mereka yang dandy sekaligus funky. Sekilas saya memperhatikan sepatu mereka, saya pikir tak ada orang Tokyo yang tak mengindahkan sepatu. Dari keseluruhan gayanya, kelihatannya sepatu menjadi bagian penting yang tak boleh alpa dipikirkan. Pada musim gugur, boot menjadi pilihan utama. Bermacam model boot dijual mulai harga 2000 yen hingga puluhan ribu yen. Beberapa menggunakan bulu binatang sebagai syal penutup leher. Rambut mereka dicat non-hitam dengan potongan modern, sebagian bahkan me-make-over wajahnya dengan bedak berwarna kecokelatan, sehingga kulitnya berkesan tanned. Rasanya istilah ‘mati gaya’ paling tepat untuk menggambarkan orang pendatang yang sekedar mengenakan baju panjang untuk menghangatkan tubuh.
Dari Stasiun Shibuya, saya naik kereta dalam kota menuju Harajuku. Beberapa orang terlihat santai membaca buku, baik duduk maupun sambil berdiri. Di sini, orang terbiasa menutupi kover buku bacaannya dengan sampul dari toko buku. Biasanya, sampulnya berwarna cokelat dan ada nama tokonya. Jika tidak, beberapa sengaja menutupinya dengan kertas putih. Budaya membaca buku agaknya hal yang biasa di Jepang. Di sepanjang jalan, toko-toko buku 2nd hand juga hidup. Jika rajin mencarinya, bahkan buku Harry Potter serial terakhir versi bahasa Inggris hard cover pun sudah bisa didapat hanya seharga 500 yen (sekitar Rp. 60.000,-). Kebanyakan buku yang mereka bawa berukuran buku saku, baik itu komik maupun non-komik. Mereka membaca buku bahkan ketika sedang di eskalator stasiun kereta dan subway. Begitu tangga jalan habis, buku mereka selipkan di tas untuk nanti dibaca lagi.
Tak sampai sepuluh menit dari Shibuya, saya tiba di stasiun Harajuku. Sebenarnya jalan kakipun bisa, tetapi karena jalan menuju Harajuku naik bukit, jadi saya memilih naik kereta. Nama Harajuku begitu terkenal di Indonesia karena Maia Ahmad mengklaim dirinya berdandan ala anak muda daerah ini. Begitu keluar stasiun, segera saya lihat lautan orang di Takeshita Street. Beberapa anak muda laki-laki dengan ramput spikey terlihat sedang berdiri di sana-sini. Di sinilah anak-anak Harajuku konon membeli baju-bajunya dengan harga murah, mulai dari 350 yen hingga beberapa ribu yen. Ketika masuk ke dalam Takeshita Street, baru saya ngeh ada toko-toko yang menjual pakaian 2nd hand dan toko pakaian satu harga (semua baju seharga 500 yen). Anak-anak muda Harajuku berdandanan jauh lebih ekstrim ketimbang Maia. Jika tidak bergaya ala gothic, punk, berkostum binatang, dan Barbie-girl/boy. Anehnya, meskipun mereka berani berdandan ekstrem, tetapi kebanyakan malu difoto. Pertokoan di sepanjang jalan ini dipenuhi anak-anak muda, baik yang belanja maupun bekerja sebagai salesman –berteriak-teriak sambil membawa papan promosi atau membagi-bagikan leaflet dengan bonus sebungkus tissue-, semua bergaya ekstrim. Selain orang Jepang, orang kulit hitam juga lazim di sini. Dengan bahasa Jepang yang terbatas, dan senyum yang ramah mereka mempersilakan tamunya masuk. Umumnya, orang-orang kulit hitam mengelola toko khusus menjual pakaian dan aksesori hip-hop.
Harajuku merupakan Bronx-nya Jepang. Di sinilah titik ‘pemberontakan’ dari segala sikap resmi dan unggah-ungguh ala Jepang. Ini satu-satunya daerah yang para pelayan tokonya yang tidak selalu berkata irasainase (=selamat datang) kepada pengunjung. Sangat berbeda dengan daerah Ginza atau Roponggi, barang-barang di Harajuku bisa didapat dengan harga jauh lebih murah. Apabila di Jepang sangat susah mendapatkan barang bajakan, maka di daerah Harajuku (tepatnya di Takeshita Street) sajalah kemungkinan barang bajakan diperdagangkan. Sedikit banyak tempat ini mengingatkan saya pada Blok M, Jakarta.
Di akhir Takeshita Street, menyeberang sedikit, di situlah letak Harajuku Street yang mengingatkan saya pada Bandung. Jika di Takeshita Street menjual barang-barang yang diambil dari pemasok, maka di Harajuku Street toko-toko independen (distro) yang menjual pakaian rancangan sendiri bertebaran bahkan di gang-gang kecil. Beberapa toko yang menjual pakaian dan aksesori ala India, Hindu/Budha, dan penduduk aseli Amerika (Indian) terselip di antara toko-toko pakaian ala Barbie-girl/boy. Kelihatannya, femonema bergaya eksotis di Tokyo akan menghiasi musim dingin yang sebentar lagi tiba.
Masih di daerah Harajuku, di dekat taman para musisi jalanan menyuguhkan kebolehannya. Setiap aliran musik punya teritori sendiri-sendiri dan tidak menganggagu satu sama lain. Konon, di tempat inilah band-band Jepang ditemukan bakatnya oleh para produser. Tak hanya itu, beberapa penggemar Elvis Presley yang berdadan dengan rambut dijambul tinggi juga terlihat sedang menari-nari di pinggir taman dengan iringan lagu-lagu Presley. Di kursi panjang seorang pengemis terlihat bermalasan di bangku panjang. Sebuah koper berisi harta bendanya, juga tumpukan kardus yang kelihatannya jadi alas tidurnya, tertata rapi di situ. Sedang, ia sendiri rebahan di atas tas gendutnya sambil membaca sebuah buku. Seorang teman asal Indonesia yang lama berada di Jepang menjelaskan, mereka yang jadi pengemis, jika tidak karena benar-benar malas sehingga miskin, banyak pula karena tak punya keluarga. Dengan menjadi pengemis, mereka bisa berkomunitas dan punya banyak teman.
Di dekat taman, segera kita melihat sebuah gerbang besar menuju Kuil Meiji. Kuil ini akan dipenuhi orang terutama pada tahun baru, ketika penganut Shinto berdoa minta berkah di awal tahun. Jalan sepanjang kira-kira 1km saya tempuh sebelum bertemu gerbang akhir Kuil Shinto. Suasana sakral segera menyelimuti saya. Burung gagak terlihat beterbangan di antara pepohonan hutan buatan. Konon, penduduknya menyumbangkan ribuan batang pohon untuk membuat hutan buatan menuju kuil Meiji. Tumpukan drum sake dengan berragam ornamen dipajang tak jauh dari gerbang pertama menuju kuil, berseberangan dengan tumpukan drum wine (minuman angur). Penganut Shinto di Jepang percaya, minum minuman beralkohol berarti membersihkan jiwa dan raga seseorang. Ada beberapa gerbang besar berbentuk kanji ‘pintu’ yang harus dilewati sebelum sampai ke gerbang akhir.
Memasuki gerbang terkahir, setiap orang harus mencuci tangan dan berkumur-kumur di sebuah mata air sangat dingin yang sudah disediakan. Gayung kecil bergagang panjang terbuat dari bambu berjajar di pinggirnya. Ketika memasuki kuil, pengunjung dilarang menginjak anak tangga paling tinggi, kami harus melangkahinya. Sebab dipercaya anak tangga paling tinggi adalah kedudukan Dewa-Dewa. Sebuah toko yang menjual berragam jimat dikerumuni pengunjung. Mulai dari jimat enteng jodoh, banyak rejeki, hinga jimat selamat di jalan dijual dengan kemasan warna-warni. Beberapa orang terlihat membeli sebuah papan yang disebut tablet doa seharga 500 yen. Tiba-tiba, saya teringat acara Talkshow Oprah yang topiknya impian yang jadi kenyataan; beberapa bintang tamunya mengaku menuliskan cita-cita mereka di sebuah papan dan memajangnya untuk menyugesti diri sendiri mewujudkan impian itu. Di halaman kuil, tepatnya di sebelah kanan sebelum pintu masuk kuil, ribuan tablet doa tergantung memutar di papan yang sudah disediakan. Masing-masing tablet bertuliskan harapan dan cita-cita penulisnya. Membaca harapan orang lain tiba-tiba menjadi hiburan untuk para turis, terutama harapan yang berbahasa Inggris. Orang Jepang yang datang dan menulis tablet doa biasanya siswa yang akan ujian dan berharap lulus. Saya juga membaca sebuah tablet yang bercita-cita menjadi komikus manga terkenal agar bisa membantu ibunya.
Di dalam kuil, yang paling menarik bagi saya adalah sebuah kotak yang disebut ‘waka’. Dengan 100 yen, pengunjung bisa mengambil sebuah gulungan kertas kecil berisi puisi Kaisar Meiji yang isinya merefleksikan kepribadian dan menasehati si Pengambil Kertas. Beberapa orang terlihat berdoa setelah melemparkan koin berlubang (5 yen atau 50 yen), sementara para pendeta terlihat seliweran tak terganggu pengunjung yang sesekali mengambil foto.
Sekitar pukul 16:30 hari mulai menggelap. Lampu-lampu kota mulai menyala. Hiasan natal terlihat semakin gemerlap seiring dengan menggelapnya hari. Perut saya mulai lapar, angin juga sudah mulai lebih dingin. Sepanjang jalan, tiruan makanan yang bentuknya persis aselinya dipajang di depan kedai makan, membuat perut saya makin keroncongan. Saya menarik kapucung untuk menutup kepala, dan memutuskan jalan ke kedai cepat saji tempura untuk makan malam sekaligus menghangatkan diri dalam ruangan ber-AC dengan suhu 23°C.
0 komentar:
Posting Komentar