Pernah bertemu sekelompok pemuda dengan dandanan ‘liar’ dan rambut dicat dengan potongan ke atas mirip rambut orang Indian, ditambah aksesoris anting-anting, rantai bahkan gembok tergantung di pinggang? Mereka biasa berkumpul di beberapa titik keramaian pusat kota dan memiliki gaya dengan ciri khas, “seni dan kebebasan” itulah yang menjadi alasan mereka seperti itu.
Budi salah satu anak Punk di Pontianak pernah melanglangbuana sampai ke Singapura ini mengatakan, “Punk” itu sebuah aliran tetapi jiwa dan kepribadian pengikutnya kembali ke masing-masing individu, negatif tidaknya seorang Punk bukan karena aliran tetapi jiwa individunya jelas Budi.
Motto dari anak “Punk” itu, Equality atau persamaan hak. “Aliran Punk lahir karena adanya persamaan terhadap jenis aliran musik Punk dan adanya gejala perasaan yang tidak puas dalam diri masing-masing. Sehingga mereka mengubah gaya hidup dengan gaya hidup Punk,” kata Budi.
Akbar Alexander yang biasa dipanggil Nyong salah satu Punkers di Pontianak menjelaskan, menurut sejarahnya Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.
Gerakan Punk adalah anak muda yang diawali oleh kelas pekerja ini, dengan segera merambah Amerika. Yang ketika itu, mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu kemerosotan moral para tokoh politik, yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi.
Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Selain fashion yang dikenakan, tingkah laku yang mereka perlihatkan seperti potongan rambut Mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Ini sikap anti kemapanan, anti sosial.
Setiap aksesoris yang dikenakan ada maknanya. Misalnya sepatu boot yang dipakai melambangkan anti penindasan. Gembok terkatup yang digantung di pinggang menunjukkan seorang ”Punkers” ingin kebebasan.
Sebuah Gerakan Perlawanan
Dewa, Punkers asal Singkawang menjelaskan, kosa kata Punk telah digunakan sejak Shakespeare menulis The Merry Wives of Windsor. Dalam kamus Bahasa Indonesia, Punk diartikan sebagai anak muda yang masih ”hijau”, tidak berpengalaman, atau tidak berarti. Bahkan diartikan juga sebagai orang yang ceroboh, semberono dan ugal-ugalan. Namun, Dewa membantah karena makna tersebut dianggapnya kurang menggambarkan makna Punk secara keseluruhan.
Dalam ”Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebutkan tiga pengertian Punk. Punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Punk sebagai pemula yang punya keberanian memberontak, memperjuangkan kebebasan dan melakukan perubahan. Punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat”, karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas dan kebudayaan sendiri.
Punk memang tersohor di musik, namun energi eksplosif dan kecepatan gerak punk lebih dari sekedar fenomena musik. Musik hanya satu aspek dari gerakan Punk. Punk berkaitan erat dengan musik, ode dan grafis. Punk juga dapat dipandang sebagai bagian episode budaya lebih luas, dan menemukan ekspresinya dalam penampilan dan seni visual.
Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan pada keyakinan we can do it ourselves. Penilaian Punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial. ”Bahkan masalah agama,” jelas Budi.
Punk yang berkembang di Indonesia, lebih terkenal dalam hal pakaian yang dikenakan dan tingkah laku diperlihatkan. Mereka merasa mendapat kebebasan. “Punk” juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan pada keyakinan ”kita dapat melakukan sendiri”.
Jumlah anak “Punk” di Indonesia memang tidak banyak. ”Tapi ketika mereka turun ke jalanan, setiap mata tertarik untuk melirik gaya rambutnya yang Mohawk, dengan warna-warna terang dan mencolok,” jelas Dewa.
Menurut Budi, anak “Punk” bebas tetapi bertanggung jawab. Mereka berani bertanggung jawab secara pribadi, atas apa yang telah dilakukan. Karena aliran dan gaya hidup yang dijalani para “Punkers” aneh, maka pandangan miring dari masyarakat selalu ditujukan pada mereka. Padahal banyak diantara “Punkers” yang mempunyai kepedulian sosial sangat tinggi.
Menurut Budi, di Kalbar setiap tahun anak Punk selalu melakukan kegiatan sosial dengan membagikan makanan pada kaum miskin kota, anak jalanan dan orang-orang yang mengemis di perempatan serta pemulung. Kegiatan ini dikenal dengan istilah ”Food not Boms”.
Menurut Ceel, seorang Punker yang bekerja di perusahaan penangkaran Ikan Arwana di Pontianak mengatakan, perkebangan Punk di Kalbar, seiring dengan masuknya Punk ke Kalbar 1997. Beberapa ”Punkers” dari Bandung datang ke Pontianak. ”Mereka menginginkan ada komunitas Punk di Pontianak,” kata Ceel.
Komunitas anak “Punk” mempunyai aturan sendiri yang menegaskan untuk tidak terlibat tawuran, tidak saja dalam segi musikalitas saja, tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya. Dan juga komunitas anak “Punk” mempunyai landasan etika ”kita dapat melakukan sendiri”.
Beberapa komunitas “Punk” di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Mereka juga merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Komunitas tersebut membuat label rekaman sendiri, untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran.
Kemudian berkembang menjadi semacam toko kecil yang disebut distro. Tak hanya CD dan kaset, mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Produk yang dijual seluruhnya terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau.
Kemudian hasil yang didapatkan dari penjualan tersebut, sebagian dipergunakan untuk membantu dalam bidang sosial, seperti membantu anak-anak panti asuhan, meskipun mereka tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas. Komunitas “Punk” yang lain, yaitu distro merupakan implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja barang bermerk luar negeri
Pada masa kini dengan adanya globalisasi, banyak sekali kebudayaan yang masuk ke Indonesia, sehingga tidak dipungkiri bakal muncul banyak sekali kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut muncul dikarenakan adanya persamaan tujuan atau senasib dari masing-masing individu, maka muncullah kelompok-kelompok sosial di masyarakat. ”Ini budaya luar ambil yang positif saja,” harap Budi.
Budi salah satu anak Punk di Pontianak pernah melanglangbuana sampai ke Singapura ini mengatakan, “Punk” itu sebuah aliran tetapi jiwa dan kepribadian pengikutnya kembali ke masing-masing individu, negatif tidaknya seorang Punk bukan karena aliran tetapi jiwa individunya jelas Budi.
Motto dari anak “Punk” itu, Equality atau persamaan hak. “Aliran Punk lahir karena adanya persamaan terhadap jenis aliran musik Punk dan adanya gejala perasaan yang tidak puas dalam diri masing-masing. Sehingga mereka mengubah gaya hidup dengan gaya hidup Punk,” kata Budi.
Akbar Alexander yang biasa dipanggil Nyong salah satu Punkers di Pontianak menjelaskan, menurut sejarahnya Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.
Gerakan Punk adalah anak muda yang diawali oleh kelas pekerja ini, dengan segera merambah Amerika. Yang ketika itu, mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu kemerosotan moral para tokoh politik, yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi.
Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Selain fashion yang dikenakan, tingkah laku yang mereka perlihatkan seperti potongan rambut Mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Ini sikap anti kemapanan, anti sosial.
Setiap aksesoris yang dikenakan ada maknanya. Misalnya sepatu boot yang dipakai melambangkan anti penindasan. Gembok terkatup yang digantung di pinggang menunjukkan seorang ”Punkers” ingin kebebasan.
Sebuah Gerakan Perlawanan
Dewa, Punkers asal Singkawang menjelaskan, kosa kata Punk telah digunakan sejak Shakespeare menulis The Merry Wives of Windsor. Dalam kamus Bahasa Indonesia, Punk diartikan sebagai anak muda yang masih ”hijau”, tidak berpengalaman, atau tidak berarti. Bahkan diartikan juga sebagai orang yang ceroboh, semberono dan ugal-ugalan. Namun, Dewa membantah karena makna tersebut dianggapnya kurang menggambarkan makna Punk secara keseluruhan.
Dalam ”Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebutkan tiga pengertian Punk. Punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Punk sebagai pemula yang punya keberanian memberontak, memperjuangkan kebebasan dan melakukan perubahan. Punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat”, karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas dan kebudayaan sendiri.
Punk memang tersohor di musik, namun energi eksplosif dan kecepatan gerak punk lebih dari sekedar fenomena musik. Musik hanya satu aspek dari gerakan Punk. Punk berkaitan erat dengan musik, ode dan grafis. Punk juga dapat dipandang sebagai bagian episode budaya lebih luas, dan menemukan ekspresinya dalam penampilan dan seni visual.
Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan pada keyakinan we can do it ourselves. Penilaian Punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial. ”Bahkan masalah agama,” jelas Budi.
Punk yang berkembang di Indonesia, lebih terkenal dalam hal pakaian yang dikenakan dan tingkah laku diperlihatkan. Mereka merasa mendapat kebebasan. “Punk” juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan pada keyakinan ”kita dapat melakukan sendiri”.
Jumlah anak “Punk” di Indonesia memang tidak banyak. ”Tapi ketika mereka turun ke jalanan, setiap mata tertarik untuk melirik gaya rambutnya yang Mohawk, dengan warna-warna terang dan mencolok,” jelas Dewa.
Menurut Budi, anak “Punk” bebas tetapi bertanggung jawab. Mereka berani bertanggung jawab secara pribadi, atas apa yang telah dilakukan. Karena aliran dan gaya hidup yang dijalani para “Punkers” aneh, maka pandangan miring dari masyarakat selalu ditujukan pada mereka. Padahal banyak diantara “Punkers” yang mempunyai kepedulian sosial sangat tinggi.
Menurut Budi, di Kalbar setiap tahun anak Punk selalu melakukan kegiatan sosial dengan membagikan makanan pada kaum miskin kota, anak jalanan dan orang-orang yang mengemis di perempatan serta pemulung. Kegiatan ini dikenal dengan istilah ”Food not Boms”.
Menurut Ceel, seorang Punker yang bekerja di perusahaan penangkaran Ikan Arwana di Pontianak mengatakan, perkebangan Punk di Kalbar, seiring dengan masuknya Punk ke Kalbar 1997. Beberapa ”Punkers” dari Bandung datang ke Pontianak. ”Mereka menginginkan ada komunitas Punk di Pontianak,” kata Ceel.
Komunitas anak “Punk” mempunyai aturan sendiri yang menegaskan untuk tidak terlibat tawuran, tidak saja dalam segi musikalitas saja, tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya. Dan juga komunitas anak “Punk” mempunyai landasan etika ”kita dapat melakukan sendiri”.
Beberapa komunitas “Punk” di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Mereka juga merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Komunitas tersebut membuat label rekaman sendiri, untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran.
Kemudian berkembang menjadi semacam toko kecil yang disebut distro. Tak hanya CD dan kaset, mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Produk yang dijual seluruhnya terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau.
Kemudian hasil yang didapatkan dari penjualan tersebut, sebagian dipergunakan untuk membantu dalam bidang sosial, seperti membantu anak-anak panti asuhan, meskipun mereka tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas. Komunitas “Punk” yang lain, yaitu distro merupakan implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja barang bermerk luar negeri
Pada masa kini dengan adanya globalisasi, banyak sekali kebudayaan yang masuk ke Indonesia, sehingga tidak dipungkiri bakal muncul banyak sekali kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut muncul dikarenakan adanya persamaan tujuan atau senasib dari masing-masing individu, maka muncullah kelompok-kelompok sosial di masyarakat. ”Ini budaya luar ambil yang positif saja,” harap Budi.
0 komentar:
Posting Komentar