Bab I
PENDAHULUAN
Pertempuran yang terjadi dimasa pra-kemerdekaan ataupun pasca-kemerdekaan, telah memberi gambaran pada kita apa itu konflik. Peristiwa tersebut merupakan serentetan konflik yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadikan 17 Agustus 1945 merupakan lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Sebelum dan sesudah itu, bangsa indonesia mengalami pertentangan-pertentangan yang muncul justru dari para tokoh elit sosial-poltik bangsa. Sebelumnya itu, mereka saling membantu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka tak mengedepankan hasrat ego mereka masing-masing. Namun setelah itu muncullah peristiwa pemberontakan, yang diawali dengan pemberontakan PKI tahun 1948, DI/TII , PRRI-Permesta, G30 S/PKI,dll. Yang berusaha meruntuhkan kesatuan NKRI.
Keadan itu memiliki makna bahwa “ Bhineka Tunggal Ika “ sesungguhnya hanya teori semata, belum diterapkan secara nyata oleh bangsa ini. Perkataan itu merupakan cita-cita yang masih perlu diwujudkan bagi segenap bangsa kita ini. Akan tetapi, konflik-konflik sosial didalam masyarakat senantiasa memiliki kedudukan dan pola masing-masing. Dikarenakan sumber yang menjadi penyebabnya pun memiliki jenis yang tidak sama. Apabila kita disodori pertanyaan : faktor laten apakah yang sebenarnya menjadi penyebab dari munculnya pertentangan yang terjadi diatas, dan apa pula yang menjadi sumber yang bersifat laten bagi konflik-konflik sosial yang mungkin saja terjadi di Indonesi dikelak kemudian hari? Hanya melalui pemahaman yang mendalam mengenai sumber penyebabnya, maka konflik sosial internal bangsa akan dapat kita hindari. Secara psikologis kita memiliki kecenderungan untuk menekan kenyataan-kenyataan tersebut ke dalam dunia bawah sadar kita, bukan saja kita mengira bahwa dengan demikian kita akan dapat terhindar dari konflik yang lebih tajam, namun sesungguhnya kita iidak menyukai kenyataan tersebut. Konflik yang terjadi diantara sesama kita adalah sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong-royong yang kita muliakan, sesuatu yang menodai jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang kita junjung tinggi.
Yang tidak pernah kita sadari adalah, mekanisme psikologis seperti itu akan membawa kita berlarut-larut kedalam konflik yang berkepanjangan, dan sulit untuk dipecahkan. Sehingga kita akan kehilangan kepekaan kita terhadap perkembangan-perkembangan yang akan dapat memecahkan konflik. Sementara kita terpesona dengan anggapan bahwa konflik yang terjadi akan dapat kita atasi dengan gotong-royong dan semangat Bhineka Tunggal Ika, kita akan terkejut dengan kenyataan bahwa konflik yang terjadi secara tiba-tiba menjadi dahsyat. Dengan menyadari akan adanya konflik-konflik sosial yang bersifat laten di dalam masyarakat kita, memungkinkan kita untuk mencari faktor-faktor penyebabnya.
Bab II
PENDEKATAN TEORITIS
Sebelum memahami beberapa pendekatan dalam sosiologi, kita harus memahami terlebih dahulu dua pendekatan yang dianggap penting dalam beberapa puluh tahun terakhir ini. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan fungsional struktural yang menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Pendekatan ini juga memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi kedalam bentuk keseimbangan. Sedangkan pendekatan yang kedua adalah pendekatan konflik. Pendekatan konflik melihat setiap masyarakat berada didalamproses perubahan yang tidak pernah berakhir dan mengandung konflik-konflik didalamnya. Pendekatan ini juga memandang bahwa suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dari perubahan-perubahan sosial. Penjelasan tentang masing-masing pendekatan akan dijelaskan lebih rinci dengan objek sistem sosial.
1. Pendekatan fungsional struktural
Sudut pendekatan yang pertama dalam membahas masalah sistem sosial adalah pendekatan fungsional structural. Dimana pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-niai suatu kemasyarakatan tertentu. Terdapat pula suatu general agreement yang mampu mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan di antara anggota masyarakat.
Pendekatan fungsionalisme struktural yang telah dikembangkan oleh Parsons, memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada begian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2) Dengan demikian Hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbale balik.
3) Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kea rah equilibrium yang bersifat dinamis. Menanggapi perubahan perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan perubahan yang terjadi didalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat yang minimal
4) Sekalipun disfungsi, ketegangan ketegangan dan penyimpangan penyimpangan senantiasa terjadi jg, akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut dapat teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi.
5) Perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual melalui penyesuaian dan tidk secara revolusioner. Perubahan yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan
6) Perubahan sosial timbul terdapat 3 kemungkinan : perubahan yang datang dari luar, pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktual dan fungsional, dan penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7) Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus diantara para anggota masyarakat mengenai nilai nilai kemsyarakatan tertentu.
Berdasarkan ciri- ciri di atas dapat dikatakan bahwa sistem sosial pada dasarnya merupakan suatu sistem daripada tindakan-tindakan yang terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu. Kesemuanya itu tumbuh di atas standard penilaian umum ( norma sosial) yang disepakai bersama oleh para anggota masyarakat.
Selain itu tedapat pula pengaturan interaksi sosial dikarenakan karena adanya commitment terhadap norma sosial unuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka hingga akan terwujud keselarasan satu sama lain dalam suatu tingkat integrasi sosial.
Meski demikian pendekatan fungsionalisme structural yang di gagas oleh auguste comte ini, menuai banyak kritik dari David Lockwood. Beliau menegaskan bahwa dalam kenyataanya situasi sosial senantiasa mengandung dua hal yakni : tata tertib sosial yang bersifat normative, dan substratum yang melahirkan konflik-konflik. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama-sama di dalam setiap sistem sosial.
Dengan adanya kritikan tesebut, para penganut pendekatan ini menganggap kenyataan-kenyataan sebagai berikut :
1) Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri mengandung konflik dan kontradiksi yang bersifat internal, yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi terjadinya perubahan perubahan sosial.
2) Reaksi dari suatu sistem sosial trhadap perubahan yang datang dari luar tidak bersifat adjustive
3) Suatu sistem sosial, di dalam waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik sosial bersifat visious circle.
4) Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradul melalui penyesuaian yang lunak, akan tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.
Kenyataan yang demikian agaknya kurang diperhatikan oleh para penganut pendekatan fungsional struktral. Oleh karena itu tidak ada salahnya apabila kita menilik pendekatan konflik sebagai sebuah pendekatan baru dalam memahami sistem sosial Indonesia .
B. Pendekatan Konflik
Terdapat dua macam pendekatan yang lebih kecil sifatnya yaitu structuralist- Marxist dan structuralist- non Marxist. Pandangan pendekatan konflik berpangkal pada :
1) Setiap masyarakat senatiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir.
2) Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya.
3) Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial.
4) Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasa atau dominasi oleh sejumlah orang lain.
Pengikut pendekatan konflik menganggap bahwa perubahan sosial merupakan sumber yang melekat dalam mayarakat. Di dalamnya terdapat unsur- unsur yang saling bertentangan. Hal ini disebabkan oleh adanya dua kategori sosial dalm masyarakat yaitu : mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki otoritas. Pembagian otoritas ini menimbulkan adanya kepentingan berlawanan yang bersifat obyektif dan melekat dalam kedudukan sosial tertentu.
Perbedaan kepentingan inilah yang mengakibatkan adanya konflik dari mereka yang memiliki kekuasaan akan mengukuhkan status quonya dari pola hubungan tersebut. Oleh karenanya kepentingan yang tidak sisadari disebut sebagai kepentingan yang bersifat latent, dan kepentingan yang memiliki atau kelompok semu.
Kelompok kepentingan ini bukan semacam perkumpulan yang biasa melainkan lebih berkenaan dengan perkumpulan yang bersifat politis dmana secara potensial akan menyebabkan konflik.
Dahrendorf memberikan 3 macam prasyarat yang memungkinkan suatu kelompok semu teroganisir ke dalam kelompok kepentingan, diantaranya :
a) Kondisi teknis dari suatu organisasi yaitu munculnya sejumlah orang tertetu yang mampu merumuskan dan mengorganisir latent interest dari suatu kelompok semu menjadi manifest interest (ideologi / sistem nilai) berupa kebutuhan-kebutuhan yang secara sadar ingin dicapai orang.
b) Kondisi politis dari suatu organisasi yaitu ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat.
c) Kondisi sosial bagi suatu organisasi yakni adanya sistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari suatu kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah.
Ketiga prasyarat ini dapa mempengaruhi derajat efektifitas kelompok kepentingan yang lahir sebagai akibatnya.
Konsekuensi dari adanya konflik adalah dengan bertambahnya otoritas pada suatu pihak maka akan mengurangi otoritas dari pihak lain. Oleh karena itu, kita harus mengendalikan agar konflik yang berlawanan tidak terwujud ke dalam kekerasan. Pengendalian konflik ini di bagi kedalam beberapa bagaian, yaitu :
a) Konsiliasi yaitu adanya suatu lembaga yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi serta pengambilan keputusan dari pihak-pihak yang berlwanan. Lembaga tersebut harus memiliki 4 sifat, seperti : otonom ( tidak ada campur tangan dari phak lain), monopolistis (sesuai fungsinya), menyesuaikan dengan perannya, demokratis. Selain itu, diperlukan pula 3 macam prasyarat dari kelompok yang saling bertentangan yakni : sadar akan adanya konflik serta melaksanakan prinsip keadilan dan jujur bagi semua pihak, adanya keompok yang teroranisir dengan jelas, terakhir adalah mematuhi peraturan permainan tertentu.
b) Mediasi yaitu pihak yang bersengketa menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasehat mengenai cara menyelesaikan konflik. Walaupun nasehat pihak ketiga ini tidak harus diikuti.
c) Arbitrasi dimana suatu perwasitan menempatkan kedua belah pihak yang bertentangan pada kedudukan untuk menerima keputusan yang diambil oleh wasit.
Melalui adanya pengendalian konflik di antara berbagai kelompok kepentingan justru akan menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya perubahansosial yang tidak akan mengenal akhir.
STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA.
Struktur masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua. Yaitu, secara horisontal yang ditandai oleh adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-istiadat, serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan sosial antara kelas atas dan kelas bawah yang sangat tajam.
Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan, merupakan ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh Furnivall sebagai penggambaran masyarakat Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk ( plural societies ), yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain yang berada pada satu kekuasaan politik. Masyarakat Indonesia merupakan tipe masyarakat daerah tropis, dimana meraka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Dalam kehidupan berpolitik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama ( common will ). Dalam kehidupan ekonomipun juga tidak ada kehendak bersama, sehingga disimpulkan tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat ( common social demand ). Menurut Furnivall, setiap masyarakat politik dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaan sendiri, membentuk kesenian, baik berupa sastra, seni lukis, maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan di dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik masyarakat majemuk menurut Pierre L. Van den Berghe adalah:
- Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
- Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga yang bersifat non-komplementer.
- Kurang berkembangnya konsensus antar anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
- Relatif sering terjadi konflik antar anggota kelompok.
- Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
- Terjadi domonasi politik oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia. Keadaan geografis wilayah Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar di daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan, merupakan pengaruh besar terjadinya pluralitas suku bangsa Indonesia.
Faktor kedua, yaitu letak Indonesia yang berada diantara samudera Indonesia dan samudera Pasifik, sangat berpangur akan terjadinya pluralitas agama di dalam masyarakat. Letak indonesia yang berada ditengah-tengah jalur persimpangan perdagangan dunia, memungkinkan Indonesia menerima pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui pedagang asing.
Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama antara daerah di kepulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni: daerah pertanian sawah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting cultivation) yang banyak kita jumpai di luar pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabakan terjadinya kontras perbedaan antara Jawa dan Luar Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi, dab sosial-budaya.
Segala macam perbedaan di atas merupakan dimensi horizontal strutur masyarakat Indonesia . Sementara secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia dapat kita lihat dengan semakin berkembangnya polaritas sosial berdasrkan kekuatan politik dan kekayaan. Dengan semakin berkembangnya dalam sektor ekonomi modern beserta organanisasi administrasi nasional yang mengikutinya, maka terjadi pelapisan sosial politis yang sangat kontras antara golongan atas dan golongan bawah. Ketimpangan tersebut berakar dari zaman Hindia-Belanda, oleh Boeke digambarkan dengan dual economi.
Dalam sisitem dual economi, dua sektor ekonomi yang berbeda saling berhadapan. Yaitu sekotor ekonomi modern yang lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak berkaitan dengan perdagangan Internasional, dimana motif mengeruk keuntungan yang semaksimal mungkin. Sektor kedua yaitu sektor ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional, yang menjaga motif keamanan dan kelanggengan tidak berminat untuk mengharap keuntungan yang maksimal. Perbedaan tersebut secara integral terjadi dalam keseluruhan masyarakat Indonesia yang hidup di daerah pedesaan dan perkotaan.
STRUKTUR KEPARTAIAN SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
Perbedaan-perbedaan suku bangsa,agama, regional dan pelapisan sosial secara analitis memang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan semuanya jalin menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokan masyarakat Indonesia. Jalinan tesebut telah menghasilkan terjadinya berbagai “kelompok semu, yang di dalam konteks pengertian populer dapat kita sebut sebagai “golongan” yang akan menjadi sumber dari mana anggota-anggota “kelompok kepentingan” terutama direkrut.
Timbulnya kematangan kondisi teknis,polotik, dan sosial abad-20 telah berhasil mengubah kelompok-kelompok semu menjadi kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik.
Di Indonesia pertama kalinya pada hasil pemilihan umum tahun 1955 partai masyumi merupakan partai paling besar sesudah PNI dan Partai Nahdatul Ulama yang merupakan partai paling besar nomor tiga sesudah masyumi. Pertumbuhan kedua partai politik tersebut melampaui serangkaian proses kristalisasi yang cukup panjang .
Timbulnya kematangan kondisi teknis,polotik, dan sosial abad-20 telah berhasil mengubah kelompok-kelompok semu menjadi kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik.
Di Indonesia pertama kalinya pada hasil pemilihan umum tahun 1955 partai masyumi merupakan partai paling besar sesudah PNI dan Partai Nahdatul Ulama yang merupakan partai paling besar nomor tiga sesudah masyumi. Pertumbuhan kedua partai politik tersebut melampaui serangkaian proses kristalisasi yang cukup panjang .
Sebuah partai lain yang pernah menempati posisi sangat penting dalam kehidupan politik Indonesia pada masa-masa silam adalah PNI yang menurut hasil pemilu merupakan partai [aling besar. Sejak awal kelahirannya pada tahun 1972 PNI banyak memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi yang berasal dari golongan elit tradisional jawa yang berpendidikan serta perumusan Marhaenisme sebagai ideologi partai membuat PNI semakin kuat.
Selanjutnya partai terbesar ke empat adalah PKI. PKI memperoleh dukungan sangat kuat terutama dari golongan islam non santri di daerah jawa tengah dan jawa timur. PKI memiliki basis massanya terutama di dalam lapisan bawah masyarakat desa. PKI memiliki lebih banyak pemimpin-pemimpinnya yang berasal dari lapisan bawah masyarakat.
PSI merupakan partai yang lebih kecil dilihat dari massa yang diperoleh tetapi memiliki pengaruh cukup kuat di kancah politik. PSI memperoleh dukungan dari elite berpendidikan akan tetapi kurang memperoleh dukungan dari elite pedesaan serta PSI banyak mendapat dukungan dari kalangan di daerah jawa barat, Nusa Tenggara Timur, serta daerah di luar Pulau Jawa.
Melihat struktur yang demikian orang bisa menjadi lebih mengerti betapa konflik-konlik antara partai politik di Indonesia pada masa-masa yang silam merupakan konflik antara kelompok sosial kultural berdasar perbededaan suku bangsa, agama, daerah, dan stratifikasi sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku politik dari berbagai parpol di Indonesia jauh lebih kompleks daripada sekedar sumber di dalam perbedaan suku bangsa,agama, daerag,dan stratifikasi sosial. Kompleksitas itulah yang memberi kemungkinan timbulnya berbagai cara dalam kepartaian dan perilaku politik. Perwujudannya dinyatakan dalam konflik ideologis di antara lim
Melihat struktur yang demikian orang bisa menjadi lebih mengerti betapa konflik-konlik antara partai politik di Indonesia pada masa-masa yang silam merupakan konflik antara kelompok sosial kultural berdasar perbededaan suku bangsa, agama, daerah, dan stratifikasi sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku politik dari berbagai parpol di Indonesia jauh lebih kompleks daripada sekedar sumber di dalam perbedaan suku bangsa,agama, daerag,dan stratifikasi sosial. Kompleksitas itulah yang memberi kemungkinan timbulnya berbagai cara dalam kepartaian dan perilaku politik. Perwujudannya dinyatakan dalam konflik ideologis di antara lim
E. Bab V
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI SOSIAL
Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi nasional yang bersifat vertikal.
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI SOSIAL
Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi nasional yang bersifat vertikal.
Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal: pertama masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, masyarakat terintegrasi karena menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross cutting affiliations).
Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk karena tanpa keduanya maka tidak akan terbentuk masyarakat walaupun landasan tersebut hanya berlaku dalam derajad yang bersifat sementara.
Segmentasi kedalam bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang terikat kedalam ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik. Dalam hal ini ada dua tingkatan konflik :
- Konflik ideologis
Konflik antar sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi berbagai kesatuan sosial. - Konflik politius
Konflik dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber ekonomi.
Dalam suatu konflik maka sadar atau tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri di antara sesama anggotanya, membentuk organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama.
Menurut Liddle konflik dapat terselesaikan pabila muncul integrasi nasional, dan integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila:
- Sebagian besar anggota masyarakat bersepakat tentang batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dimana mereka menjadi warganya.
- Apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan politik yang berlaku bagi masyarakat tersebut.
Dengan kata lain Integrasi nasional akan terjain apabila adanya konsensus tentang batas-batas masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku bagi masyarakat.
Ada indikator yang menggambarkan intensitas konflik politik yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia dari tahun 1948-1967:
- Demonstrasi
Sejumlah orangisasi yang tidak menggunakan kekerasan untuk mengorganisir dirimelakukan protes terhadap rezim atau kebujakan yang sedang direncanakan. - Kerusuhan
Demonstrasi dengan cara melakukan kerusuhan menggunakan kekuatan fisik dengan pengrusakan barang-barang,pemukulan dalam mengungkapkan protes terhadap pihak yang menurut mereka tidak benar. - Serangan bersenjata (armed attack)
Tindakan kekerasan yang dilakukan untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kekuasaan dari kelompok kain. (pertumpahan darah, pergulatan, pengrusakan barang-barang)
- Jumlah kematian akibat dari kekerasan politik
Salah satu perubahan politik yang paling penting yang dapat dipakai sebagai indikator konflik politik adalah terjadinya perubahan di dalam lembaga-lembaga eksekutif. Indikator ini dapat kita bedakan ke dalam dua macam perubahan :
1. Reguler excekutive transfer
Suatu pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa yang lain melalui cara-cara yang bersifat legal-konvensional atau melalui prosedur yang sudah menjadi kebiasaan, tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang nyata dan langsung.
Suatu pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa yang lain melalui cara-cara yang bersifat legal-konvensional atau melalui prosedur yang sudah menjadi kebiasaan, tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang nyata dan langsung.
2. Ireguler power transfer
Pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa lain melalui cara-cara yang tidak legal konvensional atau prosedur-prosedur yang tiada biasa.
Pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa lain melalui cara-cara yang tidak legal konvensional atau prosedur-prosedur yang tiada biasa.
Jadi dari sini dapat disimpulkan untuk tidak memberlakukan kedua macam pendekatan yang telah berulang kali disebutkan yakni, fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik secara sepihak. Sifat majemuk masyarakat Indonesia memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi timbulnya konflik-konflik sosial yang sedikit banyak bersifat vicious circle dan yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial di atas landasan coercion. Akan tetapi di lain pihak proses integrasi tersebut juga terjadi di atas landasan konsensus bangsa Indonesia mengenai nilai-nilai fundamental tertentu. Kelahiran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sangat jelas menunjukan betapa nasionalisme pancasila telah menjadi daya spiritual yang sejak awal mempersatukan bangsa Indonesia. .
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial saling silang menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang menyilang pula. Cross cutting afiliation yang demikian telah menyebabkan konflik antar golongan di Indonesia bagaimanapun tidak menjadi terlalu tajam . bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme pancasila yang senantiasa beranggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive,maka struktur masyarakat Indonesia yang silang menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa, walaupun ia harus mengarungi samudera penuh dengan berbagai gelombang dan badai pertentangan.
0 komentar:
Posting Komentar